Assalamu Alaikum Wr. Wb.

Assalamu Alaikum Wr. Wb.
Bangkitlah Indonesia[ku]

Monday, May 21, 2007

PLURALISME: MANFAAT DAN MUDHARATNYA

Oleh Andi Faisal Bakti

Istilah pluralisme dapat ditinjau dari berbagai perspektif. Bisa dengan tinjauan filsafat, etika, kosmologi, agama, ekonomi, komunikasi dan politik. Seperti halnya konsep baru lainnya, pluralisme kemudian menimbulkan pro dan kontra. Bagi yang pro, pluralisme dianggap sebagai suatu hal yang sangat modern, dan dapat membantu manusia mendapatkan pencerahan dan pemerdekaan. Namun bagi yang kontra, konsep ini justru dianggap dapat membuat manusia berseteru dan bermusuhan, maka yang terjadi adalah kegelapan. Bahkan yang terakhir ini, ada yang mengaitkannya dengan kemusyrikan, yang ditengarai berlawanan dengan tawhid, keesaan Tuhan. Bagi yang terakhir ini, pluralisme adalah sebuah isme yang memutlakkan perbedaan. Mereka membedakan ini dari pluralitas, yang dipahami sebagai sesuatu yang tidak bisa dipungkiri dan dinafikan, karena setiap orang pasti berbeda. Namun, mengabsolutkan perbedaan, dan itulah yang ditekankan oleh puralisme, mereka menolaknya.

Tulisan ini mencoba melihat bagaimanakah manfaat dan mudharat konsep pluralisme ini, bila dilihat dari sudut pandang komunikasi lintas agama dan budaya bagi warga negara? Dengan kata lain, atikel ini akan melihat dari perspektif SARA (suku, agama, ras dan antar golongan). Kemudian terakhir adalah solusi logis untuk jangka panjang.

Komunikasi antaragama dan budaya, atau biasa disingkat dengan KAB, melihat pluralisme sebagai sesuatu yang harus cair dalam pemaknaan yang tak pernah henti antara penyampai dari pemangku budaya tertentu (SARA) dan penerima pesan budaya lainnya, yang menggunakan media atau channel (baik konvensional maupun canggih pada zamannya). Ketiga unsur itu masing-masing punya pemaknaan tersendiri, dan melahirkan umpan balik dan interpretasi yang berbeda atau “sama dengan yang disampaikan oleh komunikator. Bila pluralisme memiliki manfaat berupa pembebasan dari cengkraman hegemoni budaya mayoritas atas minoritas, budaya penyeragaman oleh yang dominan, yang cenderung eksploitatif dan imperialis atas budaya kecil. Maka, konsep ini juga mengandung unsur pengkristalan dan penguatan internal atas budaya minor atau sub-kultur, yang selama ini dianggap isolated dan terpencil yang hampir tanpa makna, bahkan sering terlupakan (ignored).

Dengan demikian, pluralisme bukanlah suatu konsep tanpa cela dan celah. Ia merupakan sebuah pedang yang bermata dua. Namun bila mata yang satu diasah dan dipertajam terus menerus, dan yang lainnya dibiarkan berkarat dan tumpul, maka akhirnya yang tajam itulah yang fungsional sebagai alat pemotong. Kedua mata pedang itu adalah: pertama, pengharagaan satu sama lain antara pemangku budaya yang berbeda; dan kedua adalah pembolehan dan pembiaran setiap budaya untuk berkembang pesat tanpa rintangan. Hatta, self government pun tak terelakkan.

Aspek positif pluralisme

Beberapa hal-hal positif yang terangkum dari pluralisme. Pertama, mengajak warga negara agar dapat membangkitkan sifat pengharagaan antara satu ras dengan ras lainnya, antara etnik atau suku yang satu, dengan suku lainnya, antara pengikut agama yang satu dengan agama lainnya, antara golongan yang satu dengan lainnya. Selain itu, setiap warga, etnik, dan ras dan penganut agama tertentu, dapat mengembangkan kultur, nilai-nilai ajarannya, serta tradisinya. Tak seorang pun yang dapat menghalangi upaya pengembangan ini. Mereka dilindungi oleh undang-undang. Dengan demikian, setiap warga dapat berdiri di atas kakinya sendiri, tanpa merasa tertekan, dikontrol, serta diawasi oleh warga lain yang berbeda kultur. Setiap warga memiliki hak untuk hidup dan maju, bahkan mengembalikan tradisi lama yang menjadi ajaran atau anutan pada warga itu. Institusi dan pranata sosial dan kulural dapat berdiri sebanyak-banyaknya, tanpa ada halangan dan tantangan. Hubungan dengan kultur yang sama dapat dibangun seoptimal dan sedekat mungkin, tanpa ada batas-batas hierarkikal dan birokrasi, hingga batas Negara sekalipun.

Orang Kristen, umpamanya, dapat saja menjalin hubungan dengan umat Kristiani di belahan Eropa, di AS, dan Australia. Umat Hindu dapat saja saling tolong menolong dalam hal kehidupan dengan India. Pengikut Buddha dan Kong Hu Chu pun, dapat sangat akrab dengan bangsa Asia Timur seperti Cina, Jepang, Korea dan Indo Cina. Umat Islam dapat menikmati hubungan mesra dan silatur rahim dengan bangsa Arab, Berber, Afrika, Asia Tengah, Persia, dan Anak Benua India. Setiap penganut agama ini dapat saja membangun tempat ibadah di manapun saja mereka punya tanah hak milik. Bahkan menyewa juga seharusnya pun bisa! Mereka dapat melakukan upacara keagaman secara terbuka dan masif.

Dari segi suku juga demikian. Orang Bugis Makassar di Sul-Sel dapat menjalin hubungan dengan warga Bugis Makassar di seluruh pelosok dunia Melayu, di Johore, Riau, Sarawak, Sabah, Sumatra, Kalimantan, Jawa, Kawasan Timur Indonesia, dan bahkan hingga ke Darwin, Madagaskar, dan Afrika Selatan. Orang Jawa dapat juga menjalin hubungan dengan warga di Suriname dan daerah transmigran di berbagai pulau di Indonesia. Etnik Cina di Jawa dapat akrab dengan etnik Cina di Bangka, Palembang, Pontianak, di Benteng, dan di kota-kota besar di Indonesia. Orang Melayu dapat menjalin hubungan dengan Melayu Betawi, Ambon, Minahasa dan seluruh kota-kota besar yang terletak di daerah pantai.

Aspek negative pluralisme

Adapun aspek negatif dari konsep ini juga cukup kompleks: Pertama, tidak mungkinlah kedua aspek itu: penghargaan dan pembiaran kultur dapat berjalan hand in hand terus menerus. Pasti salah satunya akan menguat dan menajam. Kedua, oleh karena setiap budaya tertentu mendapat tempat dalam Negara sama dengan lainnya, termasuk yang mayoritas, selama ini, maka mereka dapat memperkuat budaya mereka sendiri secara ke dalam. Negara tak bisa menghalangi, bahkan harus melindungi. Begitu juga pengikut kultur lain sama sekali tidak diperbolehkan melakukan intervensi apalagi gangguan atas eksistensi budaya lainnya. Bantuan dana dari luar, seperti Kristen ke gerakan Kristenisasi di suatu Negara, seperti Indonesia, seharusnya tidak mandapatkan rintangan, baik hukum maupun tindakan hukum dari pihak manapun. Negara tidak dapat mengeluarkan policy yang mungkin memperciut ruang lingkup dan gerak missionary dan zending dan avangelisme mereka. Seperti halnya bantuan dari Timur Tengah, negara kaya minyak, dari sultan, raja, atau filantropis, yang selama ini mengalir untuk dana pembangunan mesjid, madrasah, atau melalui perbankan, seharusnya tetap bisa berjalan dengan baik, tanpa sandungan. Agama lain, ada yang ternyata tidak senang dan amat kritis dengan praktek ini, sehingga mereka juga melakukan hal yang sama.. Bantuan hasil produksi elektronik dari negara industri Asia Timur, yang mengalir masuk ke suatu Negara seperti Indonesia, melalui network kecinaan, dari bangsa yang berkuning langsat dan bermata sipit ini, tidak bisa dibatasi oleh kebijakan Negara tertentu.

Deangan jaringan ini, orang Cina, kemudian, yang menguasai sebagian besar perekonomian makro Indonesia dan negara-negara tetangga, dapat mengembangkan tradisi kecinaannya. Barongsai, Tai Chi, Imlek dapat dengan megah dirayakan di mana saja di jantung atau sudut kota di negeri ini. Lapangan luas di suatu kota yang selama ini dapat digunakan untuk shalat Ied, juga dapat digunakan oleh panitia merayakan Imlek. Begitupun kaum Buddha dan Hindu.

Maka bila ini terjadi secara meluas maka ada kecenderungan bagi pemangku budaya mayoritas dan dominan selama ini, bisa saja tersisih. Budaya besar seperti Jawa, dapat tersisihkan oleh budaya Cina, yang secara ekonomi kuat. Budaya Islam, dapat terperanjat di depan kultur Kritistiani yang punya network luas hingga Eropa, Australia, dan Amerika. Di Indonesia, mereka memang minoritas, tetapi secara internasional mayoritas. Tetapi umat Islam juga punya network dengan Arab. Begitupun Hindu di Bali, mereka punya kawan lebih dari satu milliard di India, seperti halnya Buddha di Asia Timur.

Tanah yang selama ini melekat pada setiap etnik lokal dapat diambil alih oleh etnik atau ras pendatang. Apagi bila yang pendatang itu lebih kreatif, lebih kuat jaringannya, lebih dilindungi oleh kekuatan ekonomi, maka tentu semakin mudah proses pengambilalihan itu. Dengan demikian, tanah Jawa, boleh jadi tidak dihuni lagi oleh mayoritas etnik Jawa. Atau ranah Minang tidak lagi menjadi milik inheren bagi orang Minang. Tanah Borneo bukan lagi tanah kepunyaan orang Dayak. Hal ini, memang dan tentu, dalam waktu dekat belum akan terjadi. Tetapi sejarah Benua Amerika, telah menjadi kenyataan setelah ratusan tahun terjadi interaksi atas nama pluralisme ini. Begitu juga Australia dan Selandia Baru sudah menjadi dominasi keturunan bangsa Eropa. Singapura yang secara leluhur adalah milik Melayu, maka sejak tahun 1963 telah menjadi wilayah ras Cina, dan secara kultur, tradisi, nilai-nilai, semuanya sudah tercinakan.

Eropa, sekarang ini, masih tetap dominan atas rasnya dan atas tanahnya sendiri. Bahkan setiap etnik dapat menjadi Negara bangsa. Maka etnik Prancis mendirikan Perancis, Italia menjadi negara Italia, Spanyol dengan Spanyolnya. Bahkan Jerman yang pernah dibelah menjadi dua: Timur dan Barat, sejak runtuhnya tembok Berlin, keduanya telah menjadi satu negara kembali.

Untuk kasus Indonesia, manakah yang terbaik? Bila model pluralisme yang dipilih, maka setiap budaya nantinya akan mengkristal, sekalipun pada mulanya akan membangun penghargaan satu sama lain. Tetapi ketika kristalisasi semakin kuat dan menguatkan, maka benturannya pun akan semakin keras dan menyakitkan. Begitu juga bila monisme yang dikedepankan, maka akan terjadi penyeragaman kultur, sehingga semua warga akan mengikuti budaya pemimpinnnya di pusat pemerintahan. Bila suka memakai batik, maka semua harus batik, bila ada program tertentu, maka panitia akan meminta petunjuk atasan. Bila ada acara pernikahan harus ada nasi tumpeng, tradisi sungkem, dll. Budaya demokras akan terhalang dan terpasung.

Ada yang menyarankan bahwa pluralisme itu adalah layaknya semacam fruits salad. Yaitu, setiap buah, dalam rujak itu atau koqtail itu, dapat terlihat wujud dan eksistensinya masing-masing, kendati mereka tanpa pijakan (tidak sampai ke dasar mangkok). Demikianlah, suku-suku dan ras dan pengikut agama, dapat eksis secara individual, kendati tidak bisa mengklaim tanah dan tempat tinggal sebagai warisan dari leluhur. Sebaliknya, bila buah-buahan itu dibuat semacam rujak bebek (yang ditumbuk), maka setiap entitas buah-buahan itu tidak akan terlihat. Bila dicicipi, semua aroma bercampur, ada rasa mangga, pepaya, anggur, jambu, srikaya, dll, semuanya menyatu dalam rasa yang satu. Mana yang dominan, maka akan lebih terasa. Demikianlah durian atau nangka mungkin, karena baunya yang khas menyengat, maka rasanya tetap dominan. Atau buah apel, mungkin karena banyaknya, maka akan lebih dominan dan terasa di lidah. Mereka juga tidak dapat menyentuh dasar mangkok. Maka analoginya, setiap warga tidak bisa mengklaim tanah leluhurnya. Analogi ini tidak lagi menggambarkan sebuah negara pluralisme, tetapi monisme, seperti yang selama ini dipraktekkan selama Indonesia merdeka.

Penutup : Solusi

Retorika selama ini adalah: Bhinneka Tunggal Ika, tetapi perakteknya, adalah yang dominan adalah Ikanya, kesatuannya dan penyeragamannya, bukan kebhinnekaannya dan diversitasnya. Ya memang demikianlah, tidak bisa keduanya selalu berjalan berbarengan. Salah satunya harus kalah atau mengalah. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan suku bangsa ini dar kepunahan entitas, dan tetap Indonesia bersatu di bawah persemakmuran Indonesia, maka solusinya adalah Negara Persatuan, seperti yang ditandaskan dalam sila ke tiga dari Pancasila: ”Persatuan Indonesia. Bukan, Kesatuan Indonesia. Kita buat negeri menjadi pluralisme ala toko buah-buahan, atau hindangan buah-buahan yang dihidangkan di atas baki lebar, sehingga setiap buah-buahan ada piringnya masing-masing, tetapi tetap dalam wadah baki Indonesia yang satu. Kita tidak bisa mencontoh sepenuhnya Ameri Serikat, kanada, Australia da Selandia baru yang, negeri imigran itu. Kita juga tidak bisa mencontoh Uni Sovyet, yang menlemahkan negeri Balkan. Tetapi ada baiknya kita mencontoh negeri Eropa yang tetap eksis di bawah wadah uni Eropa. Dengan demikian, bukan hanya persaudaraan antara warga Indonesia yeng terjalin, tetapi juga seluruh warga dunia Melayu Raya dapat hidup dalam persemakmuran Dunia Melayu.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Penulis adalah Dosen Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Alumni Doktor pada Victoria University dan Master pada McGill University, Kanada.

Makalah ini disampaikan pada Diskusi Reguler Majelis Sinergi Kalam (MASIKA) ICMI Orwil Sulawesi Selatan pada 19 Mei 2007 di Kantor Redaksi HARIAN TRIBUN TIMUR Makassar.