Oleh Andi Faisal Bakti
Istilah pluralisme dapat ditinjau dari berbagai perspektif. Bisa dengan tinjauan filsafat, etika, kosmologi, agama, ekonomi, komunikasi dan politik. Seperti halnya konsep baru lainnya, pluralisme kemudian menimbulkan pro dan kontra. Bagi yang pro, pluralisme dianggap sebagai suatu hal yang sangat modern, dan dapat membantu manusia mendapatkan pencerahan dan pemerdekaan. Namun bagi yang kontra, konsep ini justru dianggap dapat membuat manusia berseteru dan bermusuhan, maka yang terjadi adalah kegelapan. Bahkan yang terakhir ini, ada yang mengaitkannya dengan kemusyrikan, yang ditengarai berlawanan dengan tawhid, keesaan Tuhan. Bagi yang terakhir ini, pluralisme adalah sebuah isme yang memutlakkan perbedaan. Mereka membedakan ini dari pluralitas, yang dipahami sebagai sesuatu yang tidak bisa dipungkiri dan dinafikan, karena setiap orang pasti berbeda. Namun, mengabsolutkan perbedaan, dan itulah yang ditekankan oleh puralisme, mereka menolaknya.
Tulisan ini mencoba melihat bagaimanakah manfaat dan mudharat konsep pluralisme ini, bila dilihat dari sudut pandang komunikasi lintas agama dan budaya bagi warga negara? Dengan kata lain, atikel ini akan melihat dari perspektif SARA (suku, agama, ras dan antar golongan). Kemudian terakhir adalah solusi logis untuk jangka panjang.
Komunikasi antaragama dan budaya, atau biasa disingkat dengan KAB, melihat pluralisme sebagai sesuatu yang harus cair dalam pemaknaan yang tak pernah henti antara penyampai dari pemangku budaya tertentu (SARA) dan penerima pesan budaya lainnya, yang menggunakan media atau channel (baik konvensional maupun canggih pada zamannya). Ketiga unsur itu masing-masing punya pemaknaan tersendiri, dan melahirkan umpan balik dan interpretasi yang berbeda atau “sama” dengan yang disampaikan oleh komunikator. Bila pluralisme memiliki manfaat berupa pembebasan dari cengkraman hegemoni budaya mayoritas atas minoritas, budaya penyeragaman oleh yang dominan, yang cenderung eksploitatif dan imperialis atas budaya kecil. Maka, konsep ini juga mengandung unsur pengkristalan dan penguatan internal atas budaya minor atau sub-kultur, yang selama ini dianggap isolated dan terpencil yang hampir tanpa makna, bahkan sering terlupakan (ignored).
Dengan demikian, pluralisme bukanlah suatu konsep tanpa cela dan celah. Ia merupakan sebuah pedang yang bermata dua. Namun bila mata yang satu diasah dan dipertajam terus menerus, dan yang lainnya dibiarkan berkarat dan tumpul, maka akhirnya yang tajam itulah yang fungsional sebagai alat pemotong. Kedua mata pedang itu adalah: pertama, pengharagaan satu sama lain antara pemangku budaya yang berbeda; dan kedua adalah pembolehan dan pembiaran setiap budaya untuk berkembang pesat tanpa rintangan. Hatta, self government pun tak terelakkan.
Aspek positif pluralisme
Beberapa hal-hal positif yang terangkum dari pluralisme. Pertama, mengajak warga negara agar dapat membangkitkan sifat pengharagaan antara satu ras dengan ras lainnya, antara etnik atau suku yang satu, dengan suku lainnya, antara pengikut agama yang satu dengan agama lainnya, antara golongan yang satu dengan lainnya. Selain itu, setiap warga, etnik, dan ras dan penganut agama tertentu, dapat mengembangkan kultur, nilai-nilai ajarannya, serta tradisinya. Tak seorang pun yang dapat menghalangi upaya pengembangan ini. Mereka dilindungi oleh undang-undang. Dengan demikian, setiap warga dapat berdiri di atas kakinya sendiri, tanpa merasa tertekan, dikontrol, serta diawasi oleh warga lain yang berbeda kultur. Setiap warga memiliki hak untuk hidup dan maju, bahkan mengembalikan tradisi lama yang menjadi ajaran atau anutan pada warga itu. Institusi dan pranata sosial dan kulural dapat berdiri sebanyak-banyaknya, tanpa ada halangan dan tantangan. Hubungan dengan kultur yang sama dapat dibangun seoptimal dan sedekat mungkin, tanpa ada batas-batas hierarkikal dan birokrasi, hingga batas Negara sekalipun.
Orang Kristen, umpamanya, dapat saja menjalin hubungan dengan umat Kristiani di belahan Eropa, di AS, dan Australia. Umat Hindu dapat saja saling tolong menolong dalam hal kehidupan dengan
Dari segi suku juga demikian. Orang Bugis Makassar di Sul-Sel dapat menjalin hubungan dengan warga Bugis Makassar di seluruh pelosok dunia Melayu, di Johore, Riau, Sarawak, Sabah, Sumatra, Kalimantan, Jawa, Kawasan Timur Indonesia, dan bahkan hingga ke Darwin, Madagaskar, dan Afrika Selatan. Orang Jawa dapat juga menjalin hubungan dengan warga di
Aspek negative pluralisme
Adapun aspek negatif dari konsep ini juga cukup kompleks: Pertama, tidak mungkinlah kedua aspek itu: penghargaan dan pembiaran kultur dapat berjalan hand in hand terus menerus. Pasti salah satunya akan menguat dan menajam. Kedua, oleh karena setiap budaya tertentu mendapat tempat dalam Negara sama dengan lainnya, termasuk yang mayoritas, selama ini, maka mereka dapat memperkuat budaya mereka sendiri secara ke dalam. Negara tak bisa menghalangi, bahkan harus melindungi. Begitu juga pengikut kultur lain sama sekali tidak diperbolehkan melakukan intervensi apalagi gangguan atas eksistensi budaya lainnya. Bantuan dana dari luar, seperti Kristen ke gerakan Kristenisasi di suatu Negara, seperti
Deangan jaringan ini, orang Cina, kemudian, yang menguasai sebagian besar perekonomian makro
Maka bila ini terjadi secara meluas maka ada kecenderungan bagi pemangku budaya mayoritas dan dominan selama ini, bisa saja tersisih. Budaya besar seperti Jawa, dapat tersisihkan oleh budaya Cina, yang secara ekonomi kuat. Budaya Islam, dapat terperanjat di depan kultur Kritistiani yang punya network luas hingga
Tanah yang selama ini melekat pada setiap etnik lokal dapat diambil alih oleh etnik atau ras pendatang. Apagi bila yang pendatang itu lebih kreatif, lebih kuat jaringannya, lebih dilindungi oleh kekuatan ekonomi, maka tentu semakin mudah proses pengambilalihan itu. Dengan demikian, tanah Jawa, boleh jadi tidak dihuni lagi oleh mayoritas etnik Jawa. Atau ranah Minang tidak lagi menjadi milik inheren bagi orang Minang. Tanah Borneo bukan lagi tanah kepunyaan orang Dayak. Hal ini, memang dan tentu, dalam waktu dekat belum akan terjadi. Tetapi sejarah Benua Amerika, telah menjadi kenyataan setelah ratusan tahun terjadi interaksi atas nama pluralisme ini. Begitu juga
Eropa, sekarang ini, masih tetap dominan atas rasnya dan atas tanahnya sendiri. Bahkan setiap etnik dapat menjadi Negara bangsa. Maka etnik Prancis mendirikan Perancis, Italia menjadi negara Italia, Spanyol dengan Spanyolnya. Bahkan Jerman yang pernah dibelah menjadi dua: Timur dan Barat, sejak runtuhnya tembok
Untuk kasus
Ada yang menyarankan bahwa pluralisme itu adalah layaknya semacam fruits salad. Yaitu, setiap buah, dalam rujak itu atau koqtail itu, dapat terlihat wujud dan eksistensinya masing-masing, kendati mereka tanpa pijakan (tidak sampai ke dasar mangkok). Demikianlah, suku-suku dan ras dan pengikut agama, dapat eksis secara individual, kendati tidak bisa mengklaim tanah dan tempat tinggal sebagai warisan dari leluhur. Sebaliknya, bila buah-buahan itu dibuat semacam rujak bebek (yang ditumbuk), maka setiap entitas buah-buahan itu tidak akan terlihat. Bila dicicipi, semua aroma bercampur, ada rasa mangga, pepaya, anggur, jambu, srikaya, dll, semuanya menyatu dalam rasa yang satu. Mana yang dominan, maka akan lebih terasa. Demikianlah durian atau nangka mungkin, karena baunya yang khas menyengat, maka rasanya tetap dominan. Atau buah apel, mungkin karena banyaknya, maka akan lebih dominan dan terasa di lidah. Mereka juga tidak dapat menyentuh dasar mangkok. Maka analoginya, setiap warga tidak bisa mengklaim tanah leluhurnya. Analogi ini tidak lagi menggambarkan sebuah negara pluralisme, tetapi monisme, seperti yang selama ini dipraktekkan selama Indonesia merdeka.
Penutup : Solusi
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Penulis adalah Dosen Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Alumni Doktor pada Victoria University dan Master pada McGill University, Kanada.
Makalah ini disampaikan pada Diskusi Reguler Majelis Sinergi Kalam (MASIKA) ICMI Orwil Sulawesi Selatan pada 19 Mei 2007 di Kantor Redaksi HARIAN TRIBUN TIMUR Makassar.