Assalamu Alaikum Wr. Wb.

Assalamu Alaikum Wr. Wb.
Bangkitlah Indonesia[ku]

Friday, February 01, 2008

Memikirkan Kembali "Nation Building"

Resensi Buku:

Memikirkan Kembali "Nation Building"

Judul asli:
Islam and Nation Formation in Indonesia
Penulis:
Andi Faisal Bakti, Ph.D
Penyunting:
Mas’ud Halimin
Penerbit:
Churia Press Jakarta
Cetakan I, Oktober 2006
Tebal:
160 Halaman

Di tengah memudarnya semangat nasionalisme akibat maraknya kapitalisme, eksploitasi sumberdaya alam serta motivasi kekuasaan yang cenderung melupakan peran pendiri bangsa, maka kehadiran buku ini merupakan tawaran yang mengingatkan kembali bagaimana para pendiri bangsa bersungguh-sungguh membangun bangsa yang adil dan makmur. Penulis menyadari bahwa persoalan yang paling besar yang dihadapi bangsa saat ini adalah bagaimana mempertahankan keutuhan NKRI sebagai tawaran dari kesepakatan para pendiri bangsa sebelumnya. Bahwa ‘nation buiding’ tersebut lahir dari perasaan yang sama, yakni karena nasionalisme yang ikhlas. Bukan nasionalisme semu. Buku ini menjadi pengingat bagi berbagai kalangan untuk memaknai kembali ‘nation building’ seperti ulasan Bahar Makkutana berikut ini. (p!)

Buku setebal 160 halaman ini mengkaji Islam dan pembentukan bangsa Indonesia (nation Building), yang menjelaskan peranan komunikasi Islam dalam mendorong proses pembentukan bangsa Indonesia hingga awal 1930-an. Dijelaskan pula bahwa the founding fathers bangsa ini menggunakan dua pendekatan dalam membangun bangsa dan karakter bangsa. Pendekatan yang dimaksud adalah (i) Pendekatan organisasional struktural serta pendekatan komunitarian-kultural. Pendekatan organisasional seperti pembentukan asosiasi, kelompok-kelompok, partai, maupun komunitas sealiran yang bersifat struktural. (ii) Pendekatan kultural dan tradisional melalui penanaman nilai-nilai moral, pengembangan pendidikan di pesantren-pesantren, pemberian peran kyai dan para ulama.

Kedua pendekatan diatas lahir dari sebuah visi yang sama yaitu ’membangun bangsa’. Pembangunan bangsa tersebut lahir dari faham nasionalisme yang kental dengan muatan-muatan keagamaan.

Dijelaskan juga bahwa pendekatan organisasional baik organisasi sosial maupun organisasi keagamaan dimulai sejak abad 20, dimana pada saat itu, komunikasi dan idealisme keislaman sangat signifikan dalam mendorong pembentukan bangsa. Peran bahasa melayu juga sangat nampak dalam mendorong islamisasi di Indonesia.

Buku ini menjelaskan bagaimana kelompok etnis yang berbeda, jumlah fragmentasi geografis yang banyak, penduduk yang sangat besar, mewujudkan komunitas terbayangkan mereka menjadi sebuah bangsa. Faktor-faktor apa yang menyebabkan mereka saling kenal satu sama lain? Nation Building merupakan proses yang panjang dan dilakukan secara konsisten oleh para cendekiawan muslim yang telah ada pada abad 20. Yang dicita-citakan adalah bangsa yang berkarakter.

Penulis yang merupakan dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menuliskan bahwa meluasnya pengaruh cendekiawan muda yang berpendidikan Barat membawa pada terbentuknya Sarekat Islam (SI) pada dekade kedua abad, di mana kemudian SI menjelma menjadi partai massa yang sangat besar pengaruhnya. Saat itulah SI berhadapan dengan rivalnya dari kalangan nasionalis sekular. Bersama kelompok Islam lainnya, SI mencoba melawan pengaruh sekular melalui sebuah gerakan muda Islam. (Jong Islamieten Bond atau JIB)

JIB memiliki tujuan strategis untuk mendidik kaum muda muslim dalam melawan ’sekularisasi’ yang diserukan oleh kalangan terpelajar yang berpendidikan barat beserta para pemimpin yang berhaluan sekular lainnya. JIB menjadi organisasi kaum muda pertama bagi para pelajar santri yang menerima pendidikan barat. Selain itu, peran lembaga pendidikan keagamaan sangat besar dalam menangkal arus kolonialisme yang bertujuan menguasai para penduduk asli Indonesia. Dalam hal ini, penulis sepakat bahwa peran lembaga pendidikan non pemerintah seperti pendidikan Muhammadiyah berperan besar melahirkan kader-kader yang berani melawan penjajah dengan karakter kecendekiawanan. Dengan demikian, penjajah berpikir ulang bila ingin melakukan eksploitasi secara bebas.

Meskipun demikian, pendidikan kolonial memiliki peran yang sangat besar juga dalam melahirkan pemikir-pemikir modern seperti Mohammad Hatta dan lainnya namun di pihak lain, pendidikan kolonial (baca:barat) juga dapat berbahaya bagi kelangsungan pemikir bangsa Indonesia. Tokoh politik Indonesia Muhammad Amien Rais pernah menyatakan bahwa kaum terpelajar Indonesia yang mengenyam pendidikan di Barat jauh lebih berbahaya dibanding dengan kolonialis itu sendiri. Bahayanya adalah bila kaum terpelajar tersebut tidak memahami sejarah dan karakter bangsanya, sehingga yang benar hanyalah pendapatnya sendiri, atau ia akan selalu mengangung-agungkan negeri dimana ia disekolahkan.

Sayangnya, dalam perspektif sejarah bangsa, buku yang bertemakan Konstribusi Komunikasi Lintas Agama dan Budaya terhadap Kebangkitan Bangsa Indonesia ini, belum menggambarkan bagaimana peran kelompok lainnya selain umat Islam dalam membangun bangsa ini. Karena dalam sejarah bangsa kita tahu bahwa bukan hanya kalangan terpelajar Islam yang berperan merumuskan dan terus menempa ide ”keindonesiaan” itu hingga hari ini.

Di bagian lain, penulis menjelaskan pula bahwa pola pertahanan negara kekuasaan harus diubah, yaitu tidak lagi membanggakan seberapa luas wilayah yang dimiliki, namun yang penting adalah seberapa optimalnya pengelolaan wilayah Indonesia yang luas ini. (p!)

* Bahar Makkutana adalah pengurus Masika ICMI Orwil Sulsel.