Assalamu Alaikum Wr. Wb.

Assalamu Alaikum Wr. Wb.
Bangkitlah Indonesia[ku]

Saturday, November 24, 2007

MASIKA-ICMI : NAMA DAN JALAN GERAKAN BARU

R E F L E K S I


“ Semoga Tuhan menyentuhkan ruhmu pada badai (yang baru), Karena hampir tak ada riak sedikitpun pada air lautanmu !”
Mohammad Iqbal

TIDAK bisa dipungkiri bahwa kini Majelis Sinergi Kalam (Masika) ICMI mulai bangkit dari kevakuman. Sekurangnya ini ditandai dengan perubahan struktur kepemimpinan dari presidensial menjadi presidium. Diikuti dengan perubahan fungsi organisasi dari komunitas kajian menjadi organisasi kader. Perubahan-perubahan tersebut dihasilkan Pertemuan Nasional (Pernas) Masika ke-7 di Hotel Millenium Jakarta, September 2006 lalu. Geliat kebangkitan dengan tekad melaksanakan misi baru yaitu memupuk potensi kepemimpinan kader agar memiliki ketajaman intelektual, kekuatan karakter dan keunggulan politik.


Terbentuknya Masika-ICMI pada tahun 1993 sebagai komunitas kajian memiliki fungsi strategis sebagai wadah dialektika intelektual muda Islam. Di saat rezim orde baru memandang kreasi-intelektual kaum muda merupakan ancaman. Tidak sedikit para aktivisnya menjadi cendekia unggul seperti Yudi Latif, Deni J.A, Eep Saepullah Fatah, A.E Priyono, Budi Irawanto dan lainnya. Kebanggaan yang tidak hanya menjadi bukti keberhasilan, tapi juga motivasi untuk meningkatkan aksentuasi intelektual ke depan.


Kevakuman terjadi, mengiringi kekalahan Habibie sebagai Ketua Umum ICMI dalam pencalonan Presiden pada Sidang Umum MPR 2000. Kursi kepresidenan kemudian dimenangkan oleh Gus Dur yang berlatar belakang tokoh Forum Demokrasi (Fordem). Meski tidak secara langsung memerangi, Gus Dur nampaknya telah mendorong iklim kurang kondusif bagi aktualisasi peran aktivis ICMI yang secara sosiologis terkait erat dengan birokrasi. Hal ini diikuti dengan mengendurnya keterlibatan ICMI terhadap lembaga-lembaga yang telah dibentuknya. Padahal sejak kelahirannya ICMI ekstensif membidani pendirian berbagai lembaga moderen umat seperti Harian Republika, Bank Muamalat, dan lainnya termasuk Masika.


Pembaruan Nama

Presidium Pusat Masika menetapkan 200 lebih cendikia muda Islam bergabung dalam kepengurusan 2006 - 2009. Menyiratkan antusiasme yang besar. Namun, dari lima orang terpilih menjadi presidium, tidak satu pun perempuan. Dan dari seluruh pengurusnya, perempuan hanya 3%. Sementara Muktamar ICMI di Makasar 2005, tidak kurang ibu Dr. Marwah Daud Ibrahim terpilih menjadi satu dari lima orang Presidium. Minimnya aktivis perempuan ini, mengindikasikan bahwa di awal kebangkitannya ini, aktualisasi Masika terhadap problem dan isu publik belum responsif. Tentu ini tidak perlu dianggap persoalan besar, karena sebuah kebangkitan biasa diawali dari banyak kekurangan.


Ironisnya, Bapak Nanat Fatah Natsir pada Nopember 2006 lalu -- Ketua Presidium ICMI --, justru mengatakan, nama MASIKA mengesankan sifat yang feminin. Secara sugestif kefemininan diibaratkan, kurang energik dan kurang berani. Padahal sebagai wadah kaum muda, perfomance energik dan keberanian penting ditampilkan. Pandangan yang menyiratkan kekhawatiran, dimana kevakuman bukan hanya dapat mengecilkan MASIKA. Tapi juga mendorong hilangnya organisasi ini dari dinamika kaum muda sebagai habitatnya. Meskipun pepatah mengatakan, apalah arti sebuah nama. Kekhawatiran Bapak Nanat perlu dipertimbangkan. Bukankah nama mencerminkan karakter?


Tidak sederhananya soal nama ini, pada seminar yang diselenggarakan Masika tahun 2005 Dr. Yudi Latif pernah menyatakan, bahwa ketika “Bapak Bangsa” Bung Hatta menjadikan nama Indonesia dari wilayah NKRI dewasa ini. Salah seorang Belanda menentang, bukankah nama Indische (Indonesia) itu merupakan wilayah yang membentang dari Madagaskar sampai Marauke ? Namun Bung Hatta menjawab, salahkah bila para founding father Amerika Serikat (AS) memberikan nama Amerika terhadap negaranya, padahal AS hanyalah salah satu negara di benua Amerika yang terbentang luas itu ? Bagi Bung Hatta, Indonesia adalah cita-cita dan perjuangan untuk membangun sebuah negara besar
[1].


Aspirasi pembaruan nama Masika, nampaknya bukan sekedar dipicu oleh kesan yang ditimbulkannya. Namun didorong agar terjadinya peningkatan ethos dan energi untuk memfungsikan organisasinya. Pembaruan nama adalah juga pembaruan karakter dan cita-cita yang ingin dihidupkan dari jiwa para aktivisnya.

Revisi Gerakan

Perlu diakui, sebagai komunitas kajian, Masika merupakan wujud kreasi kaum muda Islam era orde baru untuk memberikan pemikiran alternatif. Pada saat rezim yang berkuasa menempatkan politik sebagai mobilisasi massa untuk memperoleh legitimasinya. Ia juga berfungsi menjadi “goa” para aktivisnya untuk bertafakur memperteguh hati, mempertajam pemikiran, dan membangun kesadaran partisipasi publik. Upayanya memang tidak sia-sia, berbagai hasil kajian dan pemikiran aktivis Masika dipublikasikan. Gagasan-gagasan itu ikut mewarnai perluasan kesadaran publik bagi terciptanya agenda dan arah reformasi nasional. Suatu tahap perubahan yang diharapkan.

Namun demikian, intensitas intelektualisme Masika yang cukup produktif itu, abai terhadap tugas bagaimana mewujudkannya. Akibatnya, politik sebagai strategi bagi perwujudan gagasan tidak terjamah menjadi panggung dari gerakannya. Padahal era reformasi yang penuh dengan kebebasan merupakan peluang bagi perwujudan potensinya ini. Kekalahan Habibie dalam kompetisi meraih jabatan Presiden adalah bukti kurang tanggap Masika menangkap sinyal-sinyal kebutuhan publik akan otoritas politik yang intelektualistik. Akan tetapi, intelektualisme MASIKA memang tidak diorientasikan pada upaya pencapaian hal itu.

Walhasil, dalam proses reformasi kini, politik yang diharapkan dapat memberikan iklim pencerahan budi dan pencerdasan pikiran, tidak kunjung hadir. Elit-medioker yang mengendalikan kekuasaan reformasi, gagal mewujudkan agenda pembaharuan. Sehingga identitas kebangsaan yang menjadi medan perwujudan gagasan, kini mengalami penggerusan moril diluar cita-citanya.

Sepantasnyalah bila melalui Pernasnya yang lalu, tekad menjalankan fungsi organisasi tidak lagi diletakan sekedar menghasilkan pemikiran, namun juga bagaimana mewujudkannya. Perubahan politik tidak hanya diorientasikan merubah kesadaran politik menjadi partisipasi, akan tetapi partisipasi dikelola agar menghasilkan kepemimpinan meritokratik. Sebuah tekad mulia, perlu disertai sikap dan tindakan otentik para aktivisnya.

Medan Politik Perjuangan

Indonesia sebagai medan aktualisasi potensi kekaderan, penting agar ditempatkan sebagai bagian kecil dari dunia global. Kenyataan dunia Islam tengah tenggelam dan terpojok menghadapi gempuran kepentingan yang eksploitatif. Berbagai pencaplokan sumber-sumber kekayaan terjadi di wilayah kependudukan yang menjadi otoritasnya. Globalisasi yang merupakan instrumen kerjasama umat dunia, kini menjadi tunggangan segelintir elite politik-ekonomi negara-negara besar untuk memperkukuh dominasinya.

Tangan-tangan itu meskipun memberikan manfaat, namun dari kemudharatan yang ditimbulkan telah banyak menciptakan kesengsaraan, seperti kemiskinan, kelaparan, epidemi, dekandensi moral, kekerasan frustatif, kerusakan dan bencana ekologi, konflik dan ketimpangan massal lainnya. Menunjukkan bukti dari adanya eksploitasi yang telah melampaui batas.

Kesadaran ini penting, agar kepemimpinan politik yang diaktualkan Masika berspektrum luas. Sehingga riak politik yang kerap mengancam menjadi bencana konflik, tidak menjebaknya pada perseteruan dengan wajah yang sektarian. Kearifan yang menjadi karakter kecendikiaan harus terus dipupuk. Agar temperamen kemudaan tanpa perhitungan yang kadang muncul, tidak teraktualisasi dalam bentuknya yang berlebihan dan merugikan.

Berbagai penderitaaan rakyat dewasa kini, tidak terlepas dari akibat adanya intervensi eksploitatif yang disalurkan melalui elit negara dari hasil pemilu semu-demokratik era reformasi. Di sisi lain, kekuatan masyarakat sipil belum bisa tampil menjadi pengimbangnya, dikarenakan masih dalam proses meninggalkan ketergantungan dari negara yang menumbuhkannya.

Realita ini harus menjadi panggilan untuk merumuskan kembali pemikiran yang up to date, excellent, progressif dan berdaya-juang, melalui pembaharuan yang bervaliditas. Sehingga pencapaian negara Indonesia yang demokratis dan berkeadilan sosial menjadi mungkin dilakukan.

Sekelumit apapun gagasan pembaharuan perlu dihargai. Karenanya, ruang pencetusan gagasan baru perlu selalu diupayakan untuk menemukan jalan pemecahan di kegelapan umat yang terpojok. Warisan pemikiran masa lalu Islam yang menjadi sumber ajaran kini, perlu dikaji dan diperbarui bersamaan dengan peradaban moderen. Adanya berbagai jaringan pembaruan yang dimotori kaum muda, seperti JIL (Jaringan Islam Liberal), LKiS (Lembaga Kajian Islam) dan lainnya perlu disikapi sebagai bentuk menghidupkan kembali elan vital Islam.

Terlebih dari itu, Masika dengan perubahan orientasi gerakannya perlu tetap memelihara khittah-nya sebagai wadah dialektika pemikiran. Diiringi dengan i’tikad menerbitkan jurnal pemikiran Islam untuk menawarkan hasil kajian yang bonafid. Sekurang-kurangnya jurnal itu perlu untuk menempatkan diri dalam dinamika pertumbuhan kehidupan umat yang cenderung terlampau menjurus pada sikap tertutup sehingga dapat menimbulkan pertentangan yang tidak sehat. Oleh karenanya Masika harus mengupayakan munculnya titik temu demi lahirnya sinergi dalam mencapai kehidupan bangsa yang lebih beradab. Dicapai melalui dialektika yang terus menerus sebagai bentuk kesungguhan para kadernya mencapai tujuan Masika.

Jurnal tersebut diharapkan mampu menemukan formula titik temu diantara pemikiran yang sedang tumbuh. Akan tetapi pembaruan biasanya menjadi kritik terhadap pemikiran yang sudah mapan. Sebagai sebuah titik temu ini sangat dimungkinkan, dimana Masika ibarat komite dari cendikia muda Islam yang berlatar belakang organisasi Islam seperti HMI, PMII, PII, KAMMI, Pemuda Muhammadiyah, Pemuda Anshor dan lainnya. Namun, bila menjadi kritik, perlu disikapi sebagai otensitas pribadi kader yang prihatin terhadap kenyataan umatnya. Mari kita capai misi baru masika yaitu memupuk potensi kepemimpinan kader yang memiliki ketajaman intelektual, kekuatan karakter dan keunggulan politik. Sehingga terbentuk kader yang punya integritas dan otensitas yang tercermin dari pemikiran dan akhlaknya.

Matraman Jakarta, Nopember 2007.


Iwan Gunawan

Anggota Presidium Pusat

MASIKA-ICMI